Akhir-akhir ini saya gemar memperhatikan kondisi ekonomi negara-negara terkaya dan termiskin di dunia. Saya melihat satu persamaan pada negara-negara termiskin tersebut, mereka sama-sama hanya bergantung pada sektor pertanian, infrastruktur yang minim, minim investor, dan komoditas ekspor hanya berupa produk mentah. Negara-negara termiskin tersebut memang sedang kekurangan dana untuk membangun infrastruktur, menarik investor, dan membangun pusat industri disamping konflik berkepanjangan. Sedangkan negara-negara terkaya memiliki sektor industri maju, sektor pertanian maju, infrastruktur maju, dan investasi ke dalam maupun ke luar melimpah.
Menariknya, Indonesia tidak kekurangan dana, infrastruktur sudah mulai digarap, investor banyak yang tertarik, dan sektor industrinya berkembang, tetapi tetap sulit maju. Ini karena kebanyakan masyarakat dan politisinya bersifat konservatif.
Konservatisme: Niat Menjaga Tetapi Malah Merusak
Konservatisme adalah kecenderungan masyarakat untuk tidak mau berubah. Mereka lebih baik berada di zona nyaman dengan alasan menjaga kelestarian lingkungan, menjaga budaya, dan menjaga pertanian. Mereka menolak berbagai pembangunan infrastruktur, menolak datangnya investor, menolak datangnya asing, dan menolak adanya industri. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak mau berinovasi, tidak mau berpikir jangka panjang. Yang penting nyaman saat ini saja.
Menjaga Lahan Pertanian: Tidak Hanya Sekedar Tolak Pembangunan
Tanpa sadar mereka justru lebih merusak lingkungan. Menolak pembangunan jalan, jalan tol, atau bandara dengan alasan menjaga sawah atau pertanian. Padahal lahan pertanian yang dikorbankan hanya sedikit, meskipun ditambah efek samping seperti pembangunan pemukiman yang mungkin timbul. Tetapi mereka tidak memikirkan apa penyebab petani lebih memilih berhenti bertani dan menjual tanahnya kepada juragan properti. Petani seolah terlalu disayang, diberi subsidi, tetapi tidak diberikan teknologi memadai untuk memaksimalkan hasil pertaniannya. Petani itu sendiri tidak mau belajar karena berpikir alat modern justru merusak lingkungan.
Jalan tol ditolak, pergerakan kendaraan terutama angkutan barang menjadi terhambat karena macet. Macet menimbulkan polusi yang lebih parah lagi. Itu yang tidak dipikirkan.
Transportasi umum yang lebih nyaman dan cepat ditolak, katanya hanya memenuhi jalan dan mematikan angkutan rakyat (taksi, ojek, delman, becak, angkot, dll). Akibatnya orang-orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi karena transportasi umum yang ada tidak memadai seperti tarif asal-asalan dan tidak nyaman. Jalanan macet, polusi bertambah.
Pembangunan bandara ditolak, katanya hanya mengurangi lahan pertanian yang hanya sepersekian persen.. Padahal jika dibangun, pariwisata tumbuh, perekonomian meningkat, pertanian pun semakin produktif jika mau berinovasi. Biasanya masyarakat yang kaya cenderung lebih menyukai produk organik dari petani lokal.
Menolak Investor, Tetapi Tidak Mau Berinvestasi
Investor ditolak bahkan telah menjadi konotasi negatif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Katanya mereka menjajah Indonesia, “membeli” Indonesia. Tetapi sifat masyarakat justru menarik investor luar. Kebanyakan masyarakat tidak mau berinvestasi. Punya uang beli motor/mobil baru (gengsi punya kendaraan di Indonesia tinggi karena tidak ada transportasi umum yang memadai), beli gadget baru, beli pakaian impor baru. Semua produk luar. Secara makro, uang di Indonesia berputar kencang tapi lebih banyak keluarnya ketimbang masuknya.
Jika tidak ada investor seperti ritel, hotel, restoran asing masuk ke Indonesia, maka pengusaha lokal di sektor seperti ritel, hotel, dan restoran tidak akan berinovasi. Mereka tetap mematok harga tinggi untuk produk yang tidak sepadan kualitasnya.
Demo Tolak Pembangunan, Tetapi Buang Sampah Sembarangan
Banyak orang yang mengaku-ngaku cinta lingkungan dengan cara menolak pembangunan infrastruktur, tetapi mereka masih suka membuang sampah sembarangan. Jadi, siapa yang sesungguhnya perusak lingkungan?
Tiru Negara Maju
Tirulah negara maju seperti Jepang, Singapura, dan Eropa. Mereka sukses mengembangkan infrastruktur dan industri tetapi lingkungan dan budayanya tetap terjaga baik bahkan dikembangkan lebih lanjut.
Tapi kenyataannya orang Indonesia cenderung anti menjadi negara maju. Banyak yang menyindir: “(nama daerahnya) rasa luar negeri”, “gak usah ke luar negeri, (nama daerahnya) udah bakal jadi kayak di luar negeri”. Seolah-olah luar negeri adalah sesuatu yang negatif di mata sebagian masyarakat. Cobalah lihat di komentar dari postingan Instagram milik portal berita yang memberitakan rencana pembangunan sesuatu.
Kalau Mau Jadi Negara Maju, Harus Inovatif
Inovatif adalah kunci menjadi negara maju. Negara maju tidak selalu negatif. Siapa yang tidak mau hidup lebih nyaman, lingkungan lebih bersih dan asri, lebih tidak macet, dan banyak kenyamanan lainnya? Namun untuk mencapai kenyamanan tingkat lanjut, masyarakat Indonesia harus berani keluar dari zona nyaman saat ini.
Sekian luapan isi hati saya karena di daerah saya terlalu banyak penolakan ini itu saat ada wacana pemerintah membangun infrastruktur. Tumbuhkan budaya tidak membuang sampah sembarangan dulu, baru bicara kelestarian lingkungan secara makro. Karena saya yakin, pemerintah dalam membuat sesuatu pasti disertai perencanaan dan kajian yang matang.