Perjalanan ke Desa Pinggan, Kintamani, Bangli: Bagus Sih, Tapi…

Liburan sekolah saya manfaatkan dengan mengajak adik dan sepupu saya ke Desa Pinggan, yang kabarnya view sunrise-nya sangat menakjubkan. Saya sempatkan diri pagi-pagi sekali pergi kesana. Pukul setengah empat kami sudah bangun dan pukul setengah lima kami berangkat. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar 2 jam menurut Google Maps. Benar saja, pukul setengah tujuh kami sampai di tujuan.

Seperti perkiraan, view-nya memang menakjubkan. Tampak hamparan desa dan jalan berlikuk di bawahnya, dan tiga gunung berderet. Paling depan ada Gunung Batur, kemudian diikuti Gunung Abang dan Gunung Agung di belakangnya. Sayangnya kami tidak dapat melihat sunrise karena telat dan tertutup awan. Tapi kami cukup puas.

Panorama Gunung Batur dari Desa Pinggan

Panorama Gunung Batur yang menakjubkan. Tampak Gunung Abang dan Gunung Agung di belakangnya. Suasana berkabut menjadikan foto ini makin indah meskipun sedikit underexposure menurut saya. Menariknya, foto ini diambil oleh adik saya yang masih SMP. Difoto dengan Canon EOS M10 lensa kit 18-45mm pada 25mm f/4,5 1/60sec ISO 100.


Saya mengambil beberapa gambar disana. Saya mencoba lensa kit 18-135mm saya untuk memotret panorama. Namun hasilnya kurang maksimal karena saya tidak membawa tripod dan tidak punya filter. Akhirnya saya ganti ke lensa fix 50mm untuk memotret sepupu saya. Bisa dilihat di Instagram saya (http://instagram.com/hedisasrawan).

IMG_2576

Ini adalah salah satu foto terbaik saya dari Desa Pinggan. Foto sepupu saya yang sedang menikmati pemandangan dari atas kaldera. Difoto dengan Canon EOS 800D lensa kit 18-135mm pada 18mm f/3,5 1/100sec ISO 400.

Saya tidak lama disana, hanya sekitar 30 menit. Karena tidak ada apa-apa lagi selain panoramanya yang indah. Akhirnya kami pun pulang. Saat hendak menyalakan mesin mobil, tiba-tiba ada seseorang menghampiri saya. Saya ditagih Rp 25.000 oleh seseorang yang mengaku pemilik tanah disana. Saya terkejut. Hanya tempat dengan tanpa fasilitas apa pun seperti toilet, tempat parkir yang lebih layak, dan tempat foto yang nyaman. Tempat itu hanya tanah biasa yang tanpa disemen apalagi diratakan. Bahkan tanpa karcis bila itu retribusi desa. Jika hanya bayar Rp 5.000 untuk parkir, saya masih bisa toleransi. Tapi Rp 25.000 itu pemalakan namanya. Saya ingin mengajak berdebat tentang dasar apa patokan tarif Rp 25.000 tersebut, tapi tampaknya mereka preman yang suka bermain kasar.

(Ternyata tidak saya sendiri saja, coba saja cek di Google Maps review orang lain tentang tempat itu)

Saya sangat menyayangkan tindakan pungutan liar seperti itu. Mereka sepertinya hanya memikirkan jangka pendek saja. Pantas saja selama beberapa tahun tempat itu viral, tempat itu tidak pernah berkembang dan ramai. Padahal panoramanya sangat indah.

Beda kasus dengan Monkey Forest Ubud yang tiketnya seharga Rp 30.000 per orang (lokal) yang menurut saya sangat sebanding dengan keindahan hutan beserta kera yang tinggal disana; jumlah petugasnya yang menurut saya sangat banyak; toilet yang bersih, berfungsi, bahkan mewah; parkir yang nyaman dan bahkan gratis; galeri seni; ada karcis yang pasti sebagian keuntungan digunakan untuk kepentingan desa setempat; dan fasilitas untuk pejalan kaki yang sangat memadai. Sehingga meskipun cukup mahal, saya masih maklum. Sama halnya dengan tempat wisata lain di Bali yang sudah dikelola secara profesional seperti Pura Ulun Danu, Tanah Lot, Sangeh, dan Taman Ayun.

Banyak tempat yang saya kritisi karena sepertinya kurang memikirkan keberlangsungan objek wisata tersebut. Seperti Pura Besakih yang banyak ada pemalak bermodus pemandu wisata; beberapa destinasi dimana baru saja keluar dari mobil sudah dikerubungi pedagang asongan yang secara memaksa menawarkan dagangannya; dan salah satu dermaga di Danau Beratan yang harus bayar Rp 5.000 sekali foto. Tidak hanya Bali, beberapa destinasi wisata di Yogyakarta juga sepertinya mulai bermunculan hal yang justru membuat wisatawan tidak nyaman.

Secara jangka pendek memang menguntungkan, namun kebanyakan orang yang berkunjung ke sana akan kapok ke sana. Mungkin itulah mengapa beberapa destinasi wisata baru di Bali tidak bisa berkembang lebih lanjut bahkan menjadi sepi. Sementara destinasi wisata yang sudah dikelola secara profesional dan berkelanjutan semakin berkembang dan semakin banyak menghasilkan keuntungan.

Semoga pemerintah lebih memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar destinasi wisata tentang bagaimana cara menangani wisatawan dan cara mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan. Karena pada akhirnya semua pihak akan diuntungkan.

No comments:

Post a Comment