Sistem pendidikan idealnya mencetak lulusan yang mampu berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan siap menghadapi perubahan. Namun yang terlihat dari sistem pendidikan di Indonesia justru sebaliknya. Pendidikan hanya menjadi formalitas untuk mendapatkan nilai tinggi yang bahkan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Peserta didik hanya dibebankan pada banyak tugas dan PR sehingga seringkali tidak mendapat kesempatan untuk berkreasi sesuai bidang yang mereka sukai.
Sistem pendidikan saat ini juga mematikan kreativitas dan menghasilkan lulusan robot, yakni lulusan yang hanya mampu bekerja di bidang statis dan hanya jalan di tempat. Pekerjaan itu nantinya akan digantikan oleh robot sungguhan. Menurut penelitian dari Frey dan Osborne (2013), diperkirakan 47 persen pekerjaan berisiko digantikan oleh komputer. Pekerjaan yang paling berisiko adalah pekerjaan yang membutuhkan keterampilan rendah. Ketika teknologi semakin berkembang, pekerjaan yang bersifat repetitif akan digantikan oleh komputer atau robot.
Komputer tidak hanya membantu pekerjaan, tetapi juga mengambilalih pekerjaan manusia. Kita sudah melihat fenomena berkurangnya lapangan kerja akibat komputerisasi pada Industri 3.0. Pekerjaan seperti administrasi yang dulu membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengetik dan mengelola arsip dan dokumen, kini semuanya bisa dilakukan hanya dengan beberapa staf administrasi beserta komputernya. Pabrik yang dahulu membutuhkan banyak tenaga kerja kini dapat berproduksi jauh lebih banyak dengan jumlah tenaga kerja yang sama bahkan lebih sedikit.
Industri sudah mulai menuju era Industri 4.0, yang ditandai dengan penggunaan teknologi yang terintegrasi dan pemanfaatan internet dalam industri. Hasilya berupa industri yang jauh lebih efisien, menghasilkan produk yang lebih banyak dengan tenaga kerja yang jauh lebih sedikit. Sudah siapkah SDM Indonesia menghadapi hal tersebut?
Seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan penurunan angka lapangan kerja akibat kecanggihan komputer dan robot saat ini. Karena ketika pekerjaan repetitif digantikan oleh komputer atau robot, maka manusia bisa berfokus pada pekerjaan yang memerlukan kreativitas dan analisa tinggi. Meskipun telah berkembang teknologi kecerdasan buatan, akan tetapi hal tersebut masih sangat jauh prosesnya untuk mendekati kecerdasan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi juga akan menghasilkan lapangan pekerjaan baru. Siapa yang akan menyangka bahwa saat ini ada profesi analis media sosial, perancang aplikasi, dan lainnya yang berkaitan dengan komputer?
Maka dari itu, setiap orang harus menguasai keterampilan komputer. Akan tetapi, keterampilan teknis seperti menjalankan komputer, menggunakan internet, dan menguasai perangkat lunak komputer tidaklah cukup. Untuk menghadapi ketidakpastian pekerjaan karena komputerisasi dan robotisasi, keterampilan yang harus dimiliki setiap orang adalah keterampilan pemrograman. Untuk menguasai keterampilan tersebut, peserta didik perlu diajarkan bahasa pemrograman. Meskipun sudah ada spesialisasi pemrograman, setidaknya setiap orang tahu dasar-dasar bahasa pemrograman dan bagaimana gambaran dunia pemrograman. Bahasa pemrograman semestinya dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia di samping bahasa ibu dan bahasa asing.
Ketika sistem pendidikan menghasilkan lulusan yang tidak hanya menguasai teori, tetapi juga mampu berinovasi dan mengimplementasikan hasil inovasi tersebut dalam bentuk program komputer atau robot, maka semakin meningkatlah produktivitas SDM Indonesia yang sangat dibutuhkan untuk bersaing dengan negara-negara lain. Sistem pendidikan jangan sampai mencetak robot, tetapi mencetak lulusan pencipta robot.
Daftar Pustaka
Frey, Carl Benedikt, dan Michael A. Osborne. "The future of employment: how susceptible are jobs to computerisation?." Technological forecasting and social change 114 (2017): 254-280.
No comments:
Post a Comment